Beranda | Artikel
Ahlus Sunnah wal Jamaah
Senin, 15 Maret 2004

SUBHAT DAN JAWABANNYA

Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly

1. Apakah Penamaan As-Salafiyah Adalah Kebid’ahan ?
Ada sebagian orang berkata : Sesungguhnya penamaan dengan As-Salafiyah adalah kebid’ahan, karena para sahabat di zaman Rasulullah tidak memakainya.

Jawabannya.
Kata Salafiyah tidak dipakai di zaman Rasulullah dan sahabatnya karena tidak butuh untuk itu. Kaum muslimin awal berada di atas Islam yang benar, maka tidak butuh kepada kata Salafiyah, karena tabiat dan fitrah mereka berada di atasnya sebagaimana mereka berbahasa Arab fasih tanpa keliru dan salah, maka tidak ada ilmu nahwu dan sharaf serta balaghah sampai munculnya kekeliruan lalu muncullah ilmu ini yang dapat meluruskan lisan yang bengkok, demikian pula ketika muncul keanehan dan penyimpangan dari jama’ah kaum muslimin mulailah muncul kata As-Salafiyah pada alam kenyataan walaupun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan maknanya dalam hadits Iftiroq dengan sabdanya :

“Apa yang aku miliki dan sahabat-sahabatku sekarang”

Ketika kelompok-kelompok sesat banyak bermunculan dan seluruhnya mendakwakan (mengklaim) diri mereka berjalan di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, maka para Ulama umat bangkit melakukan pembedaan yang lebih gamblang dan mengatakan : Ahlul Hadits dan As-Salaf.

Karena itu Salafiyah terbedakan dari seluruh golongan-golongan Islam yan lain dengan penisbatannya kepada perkara yang menjamin mereka dapat berjalan di atas Islam yang benar, ketahuilah, itu adalah berpegang teguh kepada apa yang telah dijalani Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam dan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, merekalah para generasi yang mendapat persaksian kebaikan.

2. Dikatakan : Kenapa Kita Menisbatkan Diri Kepada Salaf
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj/22 : 78]

Kami akan memaparkan sebuah dialog yang baik antara guru kami dan ustadz Abdul Halim Abu Syuqah pengarang kitab “Tahrirul Mar’ah Fi Ashri Ar-Risalah”.

Berkata Asy-Syaikh : Kalau engkau ditanya apa madzhab kamu, apa yang akan kamu katakan ?

Dia menjawab : Muslim

Berkata Asy-Syaikh : Ini tidak cukup !

Dia berkata : Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menamakan kita kaum muslimin sejak dahulu, lalu dia membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :  هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj/22: 78]

Berkata Asy-Syaikh : Ini adalah jawaban yang benar seandainya kita berada di zaman awal sebelum berkembangnya kelompok-kelompok sesat, dan seandainya kita tanyakan -sekarang- setiap muslim dari kelompok-kelompok yang kita berselisih dengannya secara mendasar dalam aqidah, maka tidak akan berbeda jawabannya dari jawaban ini, semuanya mengatakan baik orang Syi’ah Rafidah, Khawarij, Druze, Nushairiy Al-Alawiy : Saya Muslim, kalau begitu jawaban itu belum cukup untuk saat-saat ini.

Dia berkata : Kalau begitu saya katakan : Saya muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah.
Berkata Asy-Syaikh : Ini juga tidak cukup.

Dia berkata : Kenapa ?

Berkata Asy-Syaikh : Apakah kamu dapatkan seorang dari mereka yang telah kita jadikan contoh mengatakan : Saya muslim dan saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah … maka siapakah yang mengatakan : Saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah.

Kemudian Syaikh mulai menjelaskan arti penting tambahan yang kami telah tetapkan yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.

Dia berkata : Kalau begitu saya seorang muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.

Berkata Asy-Syaikh : Jika seorang bertanya kepada kamu tentang madzhab kamu, apakah kamu akan menjawab demikian ?

Dia berkata : Ya.

Berkata Asy-Syaikh : Bagaimana pendapat kamu jika kita meringkasnya secara bahasa, karena sebaik-baiknya perkataan adalah yang paling ringkas tetapi mewakili maksudnya, maka kita katakan : Salafiy.

Dia berkata : Saya mungkin berbasa-basi kepadamu dan saya katakan : Ya, akan tetapi keyakinan saya tetap seperti tadi, karena pertama yang terbesit pada pikiran seseorang ketika mendengar kamu adalah Salafiy adalah hal-hal yang banyak dari kebiasaan berupa sikap-sikap keras yang mengantar kepada kebengisan yang terkadang ada pada Salafiyin (orang-orang Salafiy).

Berkata Asy-Syaikh : Anggaplah ucapanmu itu benar. Jika kamu katakan : Saya muslim, tidak akan terpahami kamu seorang Syi’ah Rafidah atau Druziyah atau Ismailiyah..?

Dia berkata : Mungkin saja akan tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia : ” هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj/22 : 78]

Berkata Asy-Syaikh : Tidak wahai saudaraku ! sesungguhnya kamu tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat tersebut bermakna Islam yang benar, sepatutnyalah diajak bicara orang-orang sesuai dengan akalnya … apakah ada seorang yang memahami dari kamu bahwa kamu muslim dengan makna yang ada di ayat tersebut ?

Adapun hal-hal yang jelek yang telah kamu sebutkan tadi adakalanya benar atau tidak benar, karena perkataan kamu : keras, adakalanya pada sebagian pribadi-pribadi saja dan bukan seperti manhaj ilmiyah yang diyakini, maka tinggalkanlah pribadi-pribadi tersebut. karena kita berbicara tentang manhaj dan karena kalau kita katakan : Syi’iy, Driziy, Khorijiy, Shufi atau Mu’taziliy akan masuk juga kepada hal-hal buruk yang telah kamu sebutkan. Kalau begitu hal itu diluar pembahasan kita, karena kita membahas tentang nama yang menunjukkan madzhab yang dipegangi oleh seorang manusia.

Kemudian Syaikh berkata : Bukankah sahabat semuanya muslim ?

Dia menjawab : Tentu.

Berkata Asy-Syaikh : Akan tetapi ada dari mereka yang mencuri dan berzina, dan ini tidak diperbolehkan seorangpun mengatakan : Saya bukan seorang muslim, akan tetapi dia masih seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya seperti satu manhaj, akan tetapi dia terkadang menyelisihi manhajnya, karena dia tidak maksum. Oleh karena itu, kita -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkati kamu- berbicara tentang kata yang menunjukkan aqidah, pemikiran dan pedoman kita dalam kehidupan dalam hal yang berhubungan dengan perkara agama yang kita beribadah denganya. Adapun fulan keras atau sebaliknya (lemah) adalah perkara lain.

Kemudian berkata Asy-Syaikh : Saya ingin kamu renungkan kata yang singkat ini sampai kamu tidak tetap terus berada pada kata muslim sedangkan kamu tahu tidak ada seorangpun yang memahami darimu apa yang kamu inginkan darinya, maka kalau begitu berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka.

Barakallahu laka fi Talbiyika.

[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/475-apakah-penamaan-as-salafiyah-adalah-kebidahan-dan-kenapa-kita-menisbatkan-diri-kepada-salaf.html